Minggu, 24 Juli 2011

DIPLOMASI ANAK ( Dalam Rangka Hari Anak Nasional )

Yang namanya anak memang lucu, lincah, dan menyenangkan. Apalagi kalau berbadan sehat, periang, dan cantik atau tampan. Tak seorangpun yang membenci anak-anak kecuali yang benar-benar punya masalah dengan kepribadiannya. Konon yang termasuk kategori ini lebih suka membuang atau bahkan membunuhnya dengan berbagai alasan.

Apabila kita memperhatikan seorang anak tentu hati tersentuh dan timbul hasrat untuk mengasihinya. Oleh karena itulah mungkin para pengemis lebih suka menggendong anaknya ketika meminta-minta. Atau seorang pegawai membawa anak kecilnya ke kantor tentu dengan harapan agar dengan kehadiran anak tersebut dapat menguntungkan dirinya. Tentu hal ini manusiawi belaka.

Di dunia ini berjuta anak berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Mereka didera kemiskinan, menjadi yatim, bahkan dijual para sindikat illegal untuk hal-hal yang terpaksa mereka lakukan.
Sebagiannya lagi harus mengalami kekerasan di tempat kerja atau bahkan di dalam rumah-rumah tangga tempat anak berlindung kepada orang tuanya. Sungguh ini merupakan keadaan yang memprihatinkan.

Untuk itulah melalui tulisan singkat ini kita seharusnya lebih memperhatikan nasib anak-anak dengan sungguh-sungguh. Mereka harus kita didik dengan demokratis dan bertanggungjawab supaya menjadi insan yang berguna. Sudah banyak model-model pengajaran yang sampai kepada kita, tinggal bagaimana kita mempraktekkannya. Tetapi ada satu hal bahwa berhasil tidaknya pendidikan anak adalah tergantung dari orang tua masing-masing. Oleh karena itulah peran orangtua sungguh sangat penting, sedang peran pendidikan formal bersifat sekunder. Menanamkan kebiasaan di rumah akan lebih mudah bagi orang tua dan ini berpengaruh menjadi pembawaan di masyarakat dimanapun anak nantinya berada setelah dewasa. "Selamat Hari Anak Nasional 2009". Lindungi Anak Dari Kekerasan dan Diskriminasi !

Sabtu, 05 Februari 2011

UNTUK PARA PETINGGI PERBANKAN

Untuk kedua kalinya surat ini saya tulis, setelah surat pertama saya ( Terlilit Utang Dari 10 Kartu Kredit, SM 25 Oktober 2009 ) belum mendapatkan solusi. Saya tetap berupaya untuk selalu membayar seluruh tagihan ke-10 kartu tersebut walaupun hanya minimum payment dan juga kemudian dengan cara memanfaatkan jasa pelunasan. Namun saya hanya bisa bertahan kira-kira 6 bulan tagihan, hingga akhirnya per April 2010 saya sudah benar-benar tidak mampu lagi membayar tagihan minimal ke-10 kartu tersebut. Saya mulai didatangi petugas collector, juga dari pihak bank sendiri by phone. Saya kemudian mendatangi pihak bank untuk menyampaikan permasalahan yang sedang saya hadapi dan mengajukan keringanan / kebijakan khusus sesuai dengan skema yang saya rancang. Namun pihak bank tidak bisa menerima pengajuan saya dan selalu dikatakan tidak bisa karena tidak sesuai prosedur.

Karena nego tidak disetujui, saya coba membayar sesuai dengan kemampuan saya. Tapi justru dari salah satu bank menganggap itu sebagai suatu pelecehan dan malah menyarankan saya untuk disumbangkan saja uang saya tersebut ke kaum dhuafa. Sebagai manusia normal, jelas saya tersinggung. I’tikad baik saya tidak dihargai sama sekali. Padahal uang tersebut saya dapatkan dengan susah payah hasil dari kerja tambahan sepulang saya dari kantor. Saya bisa mengerti kalau petugas bersikap demikian karena mereka memang harus menjalankan tugasnya sesuai aturan. Namun dengan kondisi saya saat ini jelas tidak akan tercapai titik temu karena saya memang benar-benar sudah habis.

Saya berharap pihak bank bisa menelaah dan menganalisa secara detail dan konkrit sejauh mana kondisi nasabah saat terjadi kasus seperti yang saya alami. Jadi dalam hal ini pihak bank bisa mengetahui mana nasabah yang masih mampu membayar sesuai dengan ketentuan bank tetapi tidak mempunyai I’tikad untuk membayar dan mana nasabah yang mempunyai I’tikad membayar namun sudah tidak mampu membayar sesuai ketentuan bank. Dan dalam hal inipun masih banyak variable yang bisa digunakan sebagai dasar acuan, seperti factor penyebab nasabah tidak mampu membayar, dst. Untuk itulah saya sangat berharap besar dari pihak manajemen bank untuk bisa menengahi dan memberi solusi atas permasalahan yang saya hadapi ini. Saya masih punya komitmen kuat untuk mengembalikan hutang-hutang saya. Hanya, sekali lagi, kalau harus sesuai dengan ketentuan bank memang saya terus terang sudah tidak mampu lagi. Selama saya tidak bisa membayar tagihan, segala konsekuensi seperti cacian, bentakan, terror keluarga dst dari pihak collection bank sudah saya terima dengan hati ikhlas. Namun tanpa ada solusi khusus dari pihak bank hal ini tentu tetap tidak akan ada ujungnya.

Saya masih yakin tagline-tagline yang disemboyankan bank tentu hakikat dan implementasinya tidak hanya ketika bank sedang menarik simpati nasabah maupun ketika nasabah selalu memberi kontribusi kepada pihak bank, melainkan juga tentu saja ketika nasabahnya sedang “bermasalah”. Bukankah sebelum “bermasalah” mereka juga pasti memberi kontribusi ? Semoga tagline-tagline tersebut tidak hanya sekedar “lipsservice” belaka. Terimakasih.


achmad_jay58@yahoo.com

Selasa, 09 November 2010

My Song ( Memori 1996 - 1998 )


 TELAH BERLALU


Katamu itu siratkan makna
Kau ingin kembali dalam cintaku
Kau buka lagi lembaran biru
Tuk coba bangkitkan cinta kita yang tlah berlalu

Tapi semua berlalu sudah
Kerinduanku telah membatu
Lupakan saja kenangan indah
Biar bayangku takkan hadir dalam mimpimu

Reff :
            Kasihku ku tlah bahagia
            Berdua selamanya bersama
            Sayangku kita tlah tahu
            Cintaku dan cintamu membisu

Kucoba lagi benahi diri
Masa lalu kita anggaplah tiada
Semua luka di hati ini
Pernah kau goreskan takkan pernah terulang kini

Back to Reff !


Klaten, 140298, 09.05 WIB




KU KAN PERCAYA


Setelah lamanya kita bersama
Lalui likunya kisah berdua
Hanyalah dirimu satu hidupku
Yakinku karnamu slalu kurindu

Reff :
            Ku kan percaya
            Dan sepenuhnya….Jiwa

Hasratku akanmu telah menyatu
Menghias sikapmu manis untukku
Cintamu tulusmu harum bagiku
Ku tanam di hati tepiskan ragu

Back to Reff !

Seperti mentari sinar kasihmu
Tak redup walaupun disaput waktu
Terkikis inginku tuk jauhkanmu
Dan setia adanya itu janjiku

Back to Reff !


Solo, 290197,  08.35 WIB





 BULAN BINTANG


Tersadar lamunan diri
Saat ku mengenangmu
Semua yang kau sampaikan
Membawa bara yang kau tanam kasih

Reff :
            Bulan pancarkan cahya jelang
            Membumi hasrat datang
            Melukis wajahmu
            Setulus kasih

Teringat janji cintamu
Terpatri dalam kalbu
Ternyata ku salah sangka
Hancurkan semua harapan tersisa

Reff :
            Bintang gemerlap hias malam
            Menggapai asa bimbang
            Membiru rinduku
            Hampa di hatiku…..Sinari slalu


Solo, Oktober 1996




 
ENGKAU


Engkau bagai melati
Dirawati disirami wangi
Engkau selaksa dewi
Dikagumi dipujai hati

Dapatkah aku memiliki
Seulas senyum putri
Mungkinkah kamu memahami
Isi di hati ini

Engkau bagai rembulan
Menyinari menerangi malam
Engkau selaksa bintang
Menaburi menghiasi mimpi

Dapatkah aku memiliki
Seulas senyum putri
Mungkinkah kamu memahami
Isi di hati ini

Reff :
            Kini pasti
            Dirimu singgah di hati
            Hidup trasa sepi
            Bila kau tinggalkan diri


Klaten, 171197,  12.00 WIB






 ULANG TAHUN


Sejenak kau tiup lilin itu
Merekah senyum seri wajahmu
Serentak tepuk tangan buatmu
Bahagia terbias di matamu

Reff :
            Kini usiamu tlah melangkah satu
            Menatap hari dengan cita baru
            Masa lalu tinggalkan jangan ragu

Selamat ulang tahun untukmu
Semoga sejahtera hidupmu
Tahukan makna hari lahirmu
Adalah dewasanya dirimu

Back to Reff !

Sejenak kau tiup lilin itu
Selamat ulang tahun untukmu

Back to Reff !


Klaten, 140298,  15.25 WIB

Senin, 08 November 2010

BAHASA JAWA DALAM MASYARAKAT JAWA ( Sebuah Tinjauan Umum )


PENDAHULUAN

          Berbicara masalah bahasa Jawa dalam masyarakat Jawa, maka ada dua konteks yang bisa dikemukakan. Konteks pertama ketika bahasa Jawa dihadapkan pada situasi non formal / keseharian. Dalam konteks ini kebanyakan dari kita akan menganggap bahwa bahasa Jawa sebagai sesuatu hal yang lumrah / biasa. Artinya bahasa tersebut sudah sangat familiar karena merupakan bahasa ibu dan digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Akan tetapi manakala dihadapkan pada situasi formal / pembelajaran, maka tidak sedikit dari kita akan menganggap bahwa bahasa Jawa sebagai sesuatu yang luar biasa atau bahkan asing. Tidak saja bagi awam, bagi kalangan pendidik pun tidak sedikit yang mempunyai anggapan demikian. Ya, bahasa Jawa sudah sering menjadi perbicangan di ranah formal maupun non formal yang tentu saja terkait dengan kondisi bahasa Jawa itu sendiri yang dari tahun ke tahun cenderung mengalami penurunan jumlah pemakaian, terutama di kalangan muda. Benarkah demikian ?
          Di wilayah karesidenan Surakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta, terutama yang tinggal di daerah Solo, Wonogiri, Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali, Klaten, Gunung Kidul, Bantul, Sleman, dan sekitarnya masih dapat dijumpai para penutur asli bahasa Jawa, dalam arti menguasai bahasa ngoko maupun karma dan menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari. Namun tidak sedikit pula yang mulai meninggalkan bahasa Jawa, terutama bagi mereka yang sekolah / kuliah di luar kota dan bagi mereka golongan perantau. Bagi mereka yang sekolah / kuliah di luar kota, khususnya kota-kota besar seperti : Semarang, Jogja, Bandung, Jakarta, Surabaya atau Medan, tentu saja prosentase terbesar yang digunakan dalam berkomunikasi adalah bahasa Indonesia. Juga bagi para perantau yang kemudian mendapatkan jodoh di kota tempat merantau, kelak setelah mereka berkeluarga cenderung menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi di keluarganya.
          Belum lagi kalau kita tengok prestasi belajar bahasa Jawa para pelajar akan kita dapati fenomena yang cukup signifikan dimana nilai rata-rata untuk bahasa Jawa masih kalah jauh dibanding nilai untuk bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dan ini terjadi di semua tingkat pendidikan mulai SD, SMP, hingga SMA. Sebuah penelitian terhadap mahasiswa PS Jawa FIB UI angkatan 2005 – 2007 menunjukkan bahwa 60% orang tua berasal dari suku Jawa, 35% non Jawa, dan 15% campuran. Dari prosentase tersebut didapati fakta bahwa hanya 15% mahasiswa yang menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi di rumah / keluarganya. Sementara 80% menggunakan bahasa Indonesia dan 5% menggunakan bahasa lain. Kemudian dari buku yang membahas bahasa, sastra serta kebudayaan Jawa justru banyak ditulis oleh penulis asing ketimbang orang Jawa sendiri. Ironisnya buku mereka selalu dijadikan acuan oleh banyak sarjana di Indonesia ketika mereka ingin menyelami lebih dalam tentang bahasa, sastra, dan budaya Jawa.
          Selain itu derasnya pengaruh arus globalisasi di segala sector kehidupan juga dianggap menjadi pemicu menurunnya pemakaian bahasa Jawa di masyaakat Jawa. Kalangan muda tidak bisa / tidak mau berbahasa Jawa krama lagi, padahal sebagian besar orang percaya bahwa pemakaian tingkat tutur bahasa Jawa mencerminkan sopan santun dan budi pekerti. Mereka lebih suka menggunakan bahasa gaul yang dianggap lebih “modern”. Kemudian adanya anggapan negative dari sebagian masyarakat terhadap bahasa daerah. Mereka beranggapan bahwa (1) bahasa daerah adalah sesuatu yang kuno, berasal dari masa lampau; (2) bahasa daerah tidak berguna di luar daerahnya; (3) bahasa daerah merupakan bahasa orang miskin dan tidak berpendidikan; (4) bahasa daerah menghalangi proses belajar dan menjadi orang pintar; (5) bahasa daerah menghalangi kemajuan; (6) bahasa daerah lambang keterbelakangan; (7) bahasa daerah tidak bergengsi.
Kondisi – kondisi tersebut di atas tentu saja tidak bisa dibiarkan begitu saja. Karena fakta menunjukkan bahwa di muka bumi ini 6 – 10 bahasa etnis hilang setiap tahunnya. Apakah kita rela bahasa Jawa mengikuti jejak mereka ?



FAKTA – FAKTA PENDORONG PELESTARIAN BAHASA JAWA

          Kiranya kita perlu melihat fakta mengapa bahasa Jawa menjadi wajib untuk dilestarikan dan dikembangkan. Terlalu besar resiko yang dipertaruhkan apabila kita membiarkan bahasa Jawa ditinggalkan oleh para penuturnya. Fakta – fakta tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Dalam kaitannya dengan kedudukan bahasa Jawa dalam pemetaan bahasa secara internasional menunjukkan bahwa dari 6.809 bahasa di dunia, Indonesia menempati urutan kedua dalam hal jumlah bahasa (731 bahasa di Indonesia). Urutan pertama ditempati oleh Papua Nugini (867 bahasa). Adapun urutan terbanyak dalam hal penutur ditempati oleh bahasa Mandarin (Cina) dengan sekitar 885.000.000 penutur, urutan kedua ditempati oleh bahasa Spanyol dengan 332.000.000 penutur, dan ketiga ditempati oleh bahasa Inggris dengan 332.000.000 penutur. Bahasa Jawa menempati urutan ke-11 dengan 75.500.000 penutur, bahasa Sunda di urutan ke-34 dengan 27.000.000 penutur, bahasa Melayu di urutan ke-54 dengan 17.600.000 penutur, bahasa Indonesia di urutan ke-56 dengan 17.050.000 penutur dan bahasa Madura menempati urutan ke-69 dengan 13.694.000 penutur.

  1. Secara nasional bahasa Jawa menempati urutan pertama dalam hal jumlah penutur. Urutan kedua bahasa Sunda, dan berturut-turut ; bahasa Madura, bahasa Minangkabau, bahasa Bugis, bahasa Batak, bahasa Banjar, dan bahasa Bali.

  1. Bahasa-bahasa daerah, termasuk bahasa Jawa tentunya, justru merupakan hulu serta hilir dari perkembangan sastra serta budaya Indonesia pada masa mendatang. Dikatakan hulu, karena sastra, bahasa, serta budaya daerah merupakan sumber serta pendukung perkembangan sastra, bahasa, serta budaya nasional kita. Sastra daerah memperkaya wacana sastra Indonesia, bahasa daerah memperkaya kosakata bahasa Indonesia, sedangkan budaya daerah menyokong budaya nasional yang kesemuanya itu membentuk sebuah karakteristik serta kekhasan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Hal yang tidak akan ditemui di belahan bumi manapun selain Indonesia. Sementara dikatakan hilir karena pada akhirnya kesemuanya itu akan bermuara pada satu tempat yang sama yaitu identitas ke-Indonesiaan.

  1. Bahasa Jawa banyak mendapatkan perhatian para ahli bahasa dari luar negeri sebagai bahan penelitian karena bahasa Jawa memiliki karakteristik yang unik dan mengandung nilai-nilai filosofis tinggi. Selain itu bahasa Jawa juga dipelajari banyak pelajar dan mahasiswa di Eropa, Australia, dan bahkan Amerika.

Dari sedikit fakta di atas menunjukkan bahwa bahasa Jawa ternyata memiliki “bargaining position” yang cukup kuat untuk tetap survive dan bahkan semakin berkembang lagi. Sebagai “manusia Jawa” seharusnya bangga dan tergerak hatinya untuk selalu “nguri-uri” bahasa Jawa. Tinggal bagaimana upaya semua pihak terkait dalam ikut mendorong bagi tetap terjaganya kelestarian bahasa dan budaya Jawa dimaksud.


UPAYA PELESTARIAN BAHASA JAWA

     Usaha pemerintah dalam memajukan dan mengembangkan bahasa dan budaya daerah terus diupayakan. Hal ini terbukti dengan diberlakukannya Undang – Undang nomor : 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan diberlakukannya UU tersebut maka kewenangan Pemerintah Pusat di bidang bahasa dan sastra daerah telah menjadi kewenangan dan tanggung jawab daerah, dengan demikian diharapkan Bahasa dan Sastra Daerah dapat dilestarikan dan dikembangkan untuk memperkaya khasanah budaya Nasional.
          Pelaksanaan Konggres Bahasa Jawa III di Yogyakarta menelurkan gagasan arti pentingnya pembelajaran bahasa Jawa di tingkat SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA, serta mengamanatkan agar pelajaran bahasa Jawa dimasukkan sebagai kurikulum muatan local di tingkat SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA. Melalui rekomendasi dari hasil putusan Konggres Bahasa Jawa III inilah maka Gubernur Jawa Tengah ( waktu itu Bpk. Mardiyanto ) mengeluarkan SK Gubernur No.895.5/01/2005 tertanggal 23 Februari 2005 yang isinya penetapan dan pengesahan Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Jawa serta bahasa Jawa wajib diajarkan di sekolah untuk tingkat SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA di Jawa Tengah.
          Dengan adanya SK tersebut geliat pemakaian bahasa Jawa semakin menunjukkan gairahnya. Di kota Semarang semua instansi pemerintah diwajibkan menggunakan bahasa Jawa setiap hari Kamis. Di kabupaten Kulonprogo pegawai pemerintah tingkat kabupaten hingga desa, bahkan sekolah, untuk berbahasa Jawa setiap hari Jum’at. Penerapan ini juga diperluas dalam berbagai bidang kegiatan, diantaranya penggunaan aksara di bawah tulisan papan nama kantor, jalan, pasar, puskesmas, sekolah, dan pusat pelayanan umum lain. Kota Yogyakarta juga tidak mau ketinggalan dengan mencanangkan “Hari Berbahasa Jawa” sekali sepekan.
Perhatian yang tak kalah serius juga ditunjukkan Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Tengah melalui alokasi bantuan keuangan / block grant untuk pembelian buku teks pelajaran bahasa Jawa di seluruh Kota / Kabupaten di Jawa Tengah. Alokasi block grant bahasa Jawa tahun 2008 sebesar 3 milyar untuk segmen SD/MI. Kemudian alokasinya ditingkatkan di tahun 2009 menjadi 10 milyar lebih untuk segmen SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK. Demikian halnya dengan pengembangan kurikulum yang ada. Hingga saat ini sudah selesai disusun Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan mata pelajaran Bahasa Jawa tahun 2008.
Upaya-upaya tersebut tentu saja perlu direspon positif dan didukung secara nyata. Walaupun masih banyak kendala akan tetapi “semangat” untuk melestarikan dan memajukan bahasa Jawa paling tidak kembali memberikan harapan positif.

BAHASA JAWA DALAM PENGAJARAN
    Di tingkat pengambil kebijakan / birokrasi dan para pakar bahasa Jawa telah membuka “kran” yang selebar-lebarnya guna memberikan akses yang lebih luas bagi pengembangan bahasa Jawa. Lantas bagaimana upaya menyikapi “kran” yang sudah terbuka lebar-lebar tersebut di tingkat institusi pendidikan ?
Untuk level Perguruan Tinggi barangkali tidak begitu mengkhawatirkan. Justru sekarang ini telah banyak Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta yang menyelenggarakan / membuka jurusan program studi bahasa dan sastra Jawa. Animo mahasiswa yang mendaftar pun bisa dibilang antusias. Akan tetapi untuk level pendidikan formal di sekolah, baik SD/MI, SMP/MTs, maupun SMA/SMK/MA, gaung pembelajaran bahasa Jawa seakan tidak terdengar.
 Seperti yang telah disinggung diawal, bahwa ketika bahasa Jawa dihadapkan pada situasi formal / pembelajaran maka persoalan akan berbicara lain. Rasanya sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa kondisi pengajaran bahasa Jawa ibarat pepatah “hidup segan mati tak mau”. Bahasa Jawa akhirnya hanya menjadi mata pelajaran komplementer, sekedar ada. Bahkan dalam beberapa kasus, pengantar pelajaran bahasa Jawa justru menggunakan bahasa Indonesia.
     Dikalangan siswa pembelajaran bahasa Jawa dianggap tidak menarik dan membosankan. Bahkan mata pelajaran bahasa Jawa menjadi momok yang menakutkan. Sedangkan di mata pengajar / guru, tidak sedikit pula yang memandang bahwa pelajaran bahasa Jawa / membelajarkan bahasa Jawa sulit. Hal tersebut bisa jadi disebabkan oleh factor-faktor sbb :

1.      Di dalam bahasa Jawa mengenal adanya tingkat tutur / unggah ungguhing basa / undha usuking basa. Tingkat tutur ini sangat banyak jumlahnya sehingga sulit untuk dipelajari. Hal ini tentu saja berakibat pada lebih rumitnya mengajarkan bahasa Jawa dibandingkan bahasa lain.

2.      Kompetensi guru bahasa Jawa itu sendiri. Artinya adalah bahwa tidak semua  guru bahasa Jawa merupakan guru mapel. Padahal untuk bisa mengajarkan bahasa Jawa diperlukan bekal pengetahuan yang memadai dalam hal kawruh basa, paramasastra, unggah – ungguh basa, kasusastran, aksara Jawa, dsb.

3.      Imbas dari point 1 di atas adalah pembelajaran bahasa Jawa cenderung menekankan pada  latihan-latihan hafalan yang nota bene kurang mengembangkan daya pikir serta mementingkan penerapan struktur dan tatabahasa. Selain itu metode pembelajaran yang digunakan masih kurang bervariasi dan minim improvisasi dalam penggunaan media dan teknik mengajar. Sehingga pembelajaran bahasa Jawa menjadi terkesan monoton, tidak menarik, dan kurang kontekstual.

4.      Minimnya sarana dan prasarana yang memadai. Sarana dan prasarana yang dimaksud antara lain ketersediaan laboratorium bahasa / ruang multimedia dan perpustakaan. Terkhusus untuk perpustakaan mestinya kelengkapan sumber referensi serta keterjangkauan dan kemudahan akses wajib terpenuhi.

5.      Terbatasnya jumlah jam tatap muka yang dialokasikan, yakni 2 jam per minggu. Minimnya jumlah jam tatap muka ini mengakibatkan pembelajaran bahasa Jawa menjadi kurang optimal.

6.      Pelajaran bahasa Jawa tidak memiliki nilai tawar yang tinggi karena tidak menentukan syarat kelulusan. Kondisi ini tentu saja menimbulkan anggapan dari siswa dan bahkan guru bahwa pelajaran bahasa Jawa menjadi kurang begitu penting.

Dengan melihat factor-faktor di atas maka sudah sewajarnya apabila pengajaran bahasa Jawa melakukan “reformasi pembelajaran”.  Pembelajaran bahasa Jawa harus mampu mensejajarkan diri dengan pembelajaran mata pelajaran lainya. Guru bahasa Jawa dituntut untuk selalu meng”update” wawasannya mengenai bahasa Jawa dan perkembangannya serta metode-metode pembelajaran yang digunakan melalui bacaan / referensi yang memadai. Guru bahasa Jawa juga harus kreatif dalam memilih materi ajar dan dalam menggunakan media pembelajaran. Penggunaan media pembelajaran seperti ; media suara “audio” berupa suara guru atau kaset, media gambar “visual” berupa Koran, majalah, buku, poster dll, serta media suara dan gambar “audio visual” berupa TV, VCD, dll merupakan suatu keharusan. Hal ini semata-mata untuk menjadikan pembelajaran bahasa Jawa agar semakin diminati siswa. Karena bagaimanapun juga pembelajaran bahasa Jawa melalui pendidikan fomal di sekolah merupakan sarana yang paling efektif dan strategis dalam rangka mempertahankan eksistensi bahasa Jawa.

PENUTUP

          Dari pemaparan di atas maka dapat disampaikan bahwa dalam masyarakat Jawa penggunaan bahasa Jawa secara baik dan benar dalam komunikasi sehari-hari cenderung mengalami penurunan pemakaian terutama dikalangan muda. Hal ini memang memprihatinkan, terutama jika dikaitkan dengan makin menurunnya pemakaian unggah – ungguh bahasa Jawa. Karena bagaimanapun juga pemakaian tingkat tutur bahasa Jawa mencerminkan sopan santun dan budi pekerti seseorang. Kondisi yang tidak jauh berbeda juga dijumpai dalam proses kegiatan belajar mengajar di sekolah. Sekolah sebagai tumpuan terakhir bagi terjalinnya kesinambungan akan eksistensi bahasa Jawa dipandang belum menunjukkan hasil yang signifikan.
          Namun demikian, terlepas dari dua kondisi di atas, jumlah pemakai bahasa Jawa di tataran nasional maupun internasional sungguh sangat membanggakan. Walaupun data tersebut belum menggambarkan secara detil, artinya data tersebut hanya menyajikan jumlah secara akumulatif tanpa menyajikan berapa penutur aktif maupun non aktif, namun tetaplah merupakan aset yang sangat berharga. Dalam hal ini campur tangan pemerintah sangat diharapkan demi tetap terjaganya eksistensi bahasa Jawa. Pengaloasian dana khusus untuk kegiatan pelatihan-pelatihan guna peningkatan kualitas pembelajaran serta peningkatan sarana dan prasarana pembelajaran menjadi sesuatu yang urgent untuk direalisasikan.
          



Daftar Pustaka :
  

Amrih Prasaja, Setya. 2008. Kurikulum Bahasa Jawa SMA/SMK. Sebuah Tinjauan Singkat. Makalah (www.smada-zobo.jimdo.com). 07 November.

Hastuti, Eko. 2009. Pembelajaran Bahasa Jawa dengan Pendekatan Komunikatif. Artikel (Blog). 28 Juni.

Krisyani. 2006. Multi (sub) Dialek Jawa di Jawa Timur dan Pengaruhnya Terhadap Mapel Bahasa Jawa di Sekolah. Makalah (Blog).

Kaswanti Purwo, Bambang. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Menyibak Kurikulum 1984. Jakarta : Kanisius.

Puspitorini, Dwi.____. Bahasa Jawa dan Pengajaran Bahasa. Makalah (dpr@cbn.net.id).

Surono, SU. 2006. Pembelajaran Bahasa Jawa di SD. Artikel (Suara Merdeka) 31 Oktober.

Triluqman BS, Heri. 2009. Permasalahan Pembelajaran Bahasa Jawa. Artikel (Blog). 04 Juni.

Waryo. 2009. Motivasi Memakai Bahasa Jawa Makin Tiada. Artikel (Kompas.com). 02 April.




Jumat, 29 Januari 2010

Parameter Kualitas Buku Teks Pelajaran

Berbicara masalah kualitas buku teks pelajaran, maka akan dijumpai bermacam komentar dengan sudut persepsi yang berbeda-beda. Bagi awam, tentu saja persepsi yang muncul lebih banyak dipengaruhi oleh pencitraan fisik dari sebuah buku. Ketika dijumpai sebuah buku dengan tampilan full colour dan grammatur kertas pilihan, maka orang tersebut mungkin akan berkomentar bahwa buku tersebut pasti mahal dan berkualitas. Namun bagi seorang guru dan mereka yang paham akan buku teks, dalam kasus yang sama, pasti akan mempertimbangkan sisi penyajian materi (konsep, kebahasaan, dsb), penulis, grafika, ataupun harga. Dari illustrasi terakhir dapat disampaikan bahwa masalah buku teks pelajaran mempunyai persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Barangkali berawal dari sinilah kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan yang kemudian menjadi klasik tentang apa sebenarnya yang menjadi parameter / ukuran kualitas sebuah buku teks pelajaran.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi lumrah mengingat dalam faktanya medefinisikan buku teks pelajaran tidak sepasti ketika kita mendefinisikan perhitungan aljabar : 4 + 1 = 5. Namun demikian bukan berarti sebuah buku teks pelajaran menjadi tidak mempunyai parameter kualitas. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa ada persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi dalam menilai buku teks pelajaran. Salah satu persyaratan urgen dan pokok yang harus dipenuhi adalah kesesuaiannya dengan kurikulum. Sampai disini ternyata masih menimbulkan apriori. Kurikulum yang diacu hanya satu. Jadi kualitas materi antara buku yang ditulis oleh penulis A, B, C, D, dan seterusnya pasti akan relatif sama.

Generalisasi atas premis-premis tersebut bisa benar dan bisa salah. Benar, karena di dalam kurikulum sudah ditentukan materi-materi yang harus diajarkan (SK & KD-nya). Jadi secara logika mestinya materinya pun akan relatif sama. Namun generalisasi tersebut bisa salah karena dalam faktanya ternyata tidak seperti yang dibayangkan oleh logika. Kompetensi penulis jelas tidak sama dalam hal : penyerapan substansi dan penengkapan persepsi kurikulum, keluasan keilmuan, kekayaan referensi, pengalaman, dsb. Jadi faktor-faktor inilah yang akan turut andil dalam menentukan kualitas sebuah buku teks pelajaran.

Kembali pada inti persoalan, bahwa salah satu hal yang urgen dan pokok untuk dipenuhi dalam rangka untuk menciptakan buku teks pelajaran yang berkualitas adalah kesesuaian materi buku tersebut dengan kurikulum yang sedang diberlakukan. Kata "sesuai" dalam konteks ini tidak hanya sekedar dilihat dari sudah terjabarkannya seluruh SK dan KD yang ditetapkan kurikulum ke dalam materi pelajaran. Namun yang menjadi lebih penting adalah sejauh mana penjabaran materi tersebut benar-benar akurat dan terpenuhi dari segi aspek kedalaman dan keluasan cakupan materinya.

Sebagai illustrasi, untuk mengetahui kecukupan materi pelajaran PKn kelas 4 misalnya, maka dapat dilakukan dengan cara menganalisa struktur kurikulumnya. Kalau kita lihat struktur kurikulum 2006 pada jenjang SD maka disitu jelas disebutkan bahwa minggu efektif untuk satu tahun adalah minimal 34 minggu dan maximal 38 minggu. Sedangkan untuk alokasi waktu mapel PKn per minggunya adalah 2 jam tatap muka. Artinya adalah minimal dalam satu tahun ( 2 semester ) jatah jam tatap muka untuk mapel PKn adalah 2 jam x 34 minggu = 68 jam pelajaran atau 34x pertemuan. Dari perhitungan tersebut mastinya materi mapel PKn kelas 4 dapat diajarkan dalam proses KBM minimal sampai 34 kali pertemuan. Perhitungan di atas akan lebih akurat lagi apabila dilakukan analisa melalui penyusunan silabus. Dari analisa tersebut akan dapat diketahui KD - KD yang sudah cukup ataupun masih kurang dalam pengembangan materinya. Oleh sebab itu seorang penulis dituntut untuk tidak hanya sekedar memahami SK dan KD dalam kurikulum, melainkan juga harus paham dengan struktur kurikulum per segmen per mapel serta mengetahui teknis penyusunan silabus.

Aspek berikutnya adalah kekonsistenan dalam menyajikan materi. Artinya adalah penjabaran KD harus urut dan eksplisit. Urut mensyaratkan keruntutan pembahasan berdasarkan tingkatan / grade yang telah disusun dalam kurikulum. Eksplisit mensyaratkan pembahasan per KD harus nyata dan mempunyai batasan yang jelas. Sebagai contoh, dalam mapel Matematika kelas IX semester I pada asek Geometri dan Pengukuran. Pada SK 1 : "Memahami kesebangunan bangun datar dan penggunaannya dalam pemecahan masalah" terdapat tiga KD yang harus dijabarkan, yakni : KD 1.1 Mengidentifikasi bangun-bangun datar yang sebangun dan kongruen. KD 1.2 Mengidentifikasi sifat-sifat dua segitiga sebangun dan kongruen, dan KD 1.3 Menggunakan konsep kesebangunan segitiga dalam pemecahan masalah. Penjabaran materi atas KD - KD tersebut harus urut / konsisten dimulai dari KD 1.1 dan seterusnya, serta mempunyai batasan yang jelas bahwa KD 1.1 membahas tuntas masalah identifikasi bangun - bangun datar yang sebangun dan kongruen. Selain itu proporsionalitas dalam menjabarkan materi atas KD - KD tersebut juga harus tetap terjaga. Misalnya pembahasan di KD 1.1 sampai beberapa halaman sementara giliran pembahasan di KD 1.3 hanya satu lembar, demikian seterusnya.

Pemenuhan aspek ini tentu saja akan berdampak pada kemudahan bagi siswa untuk memahami materi-materi isi buku serta kemudahan bagi guru dalam mengajarkan materi-materi dalam buku tersebut. Dalam hal ini perlu digarisbawahi bahwa tingkat kepuasan guru terhadap isi / materi buku baru dapat dirasakan setelah buku tersebut digunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar dalam kurun waktu tertentu. Artinya adalah ketika seorang guru menggunakan buku teks sebagai acuan dalam kegiatan belajar mengajar selama kurun waktu tertentu, yang dalam hal ini satu semester / satu tahun, maka sebenarnya ia baru bisa menilai dan merasakan bagian-bagian mana saja kekurangan dan kelebihan dari buku tersebut. Jadi pemenuhan aspek seperti yang telah disinggung di atas adalah mutlak.

Dari pemaparan di atas maka untuk dapat menyusun buku teks pelajaran yang berkualitas paling tidak harus melalui tahap-tahap berikut. Tahap pertama adalah dengan menelaah apakah seluruh SK dan KD sudah terjabarkan ke dalam naskah. Kemudian dilanjutkan dengan tahap kedua yakni melakukan pengecekan terhadap kesesuaian urutan penjabaran SK dan KD. Setelah itu di tahap ketiga mulai menganalisa apakah penjabaran SK dan KD tersebut sudah benar-benar tepat sasaran / akurat. Langkah keempat adalah melakukan analisa kecukupan materi dengan berpedoman pada struktur kurikulum pada segmen dan mapel yang bersangkutan. Dalam tahap ini perlu dibarengi dengan analisa terhadap Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran (SKL-MP) mapel yang bersangkutan. Biasanya SKL-MP sering diabaikan karena sudah dirasa cukup dengan berpedoman pada analisa SK dan KD. Padahal sebenarnya dalam dokumen SKL-MP sudah disarikan lingkup materi yang wajib diajarkan pada mapel tersebut. Hal ini sekaligus sebagai alat kontrol terhadap kecukupan ruang lingkup materi yang akan dijabarkan serta untuk menjaga agar penjabaran materi tetap akurat. Dan tahap kelima adalah melakukan review dan editing terhadap kesalahan-kesalahan konsep, kebahasaan, dan sebagainya setelah proses langkah 1 s/d 4 terpenuhi.

Demikianlah, maka sebenarnya berbicara masalah buku teks pelajaran tetap mempunyai koridor dan parameter dalam rangka untuk mencapai nilai tertinggi dari sebuah kualitas.

Rabu, 10 Juni 2009

Kepekaan Sosial Dalam Kebebasan Berekspresi

Kita dapat mengistilahkan era sekarang ini sebagai era kebebasan berekspresi. Hal ini dibuktikan dengan makin terbukanya sistem politik yang berdemokrasi yang nota bene menjamin kebebasan berpendapat dan berkelompok. Juga dalam bidang yang lain kebebasan ini mulai dapat dilaksanakan seperti dalam hal kemasyarakatan, berbisnis, seni, dan bahkan pergaulan. Tentu dari sudut pandang perkembangan kehidupan berbangsa kedepan hal ini sangat menguntungkan karena membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi setiap individu untuk mengoptimalkan / mengekspresikan sumber daya, bakat, dan keinginan yang dimilikinya tanpa takut oleh tekanan-tekanan dari pihak penguasa.

Kebebasan semacam ini akan memacu persaingan yang positif dikalangan masyarakat sehinga secara keseluruhan akan memberikan stimulasi yang berarti bagi kemajuan bangsa nantinya. Kita bisa bayangkan apabila sistem yang dijalankan di Negara ini bebas dari yang namanya manipulasi dan rekayasa, maka kemajuan itu akan dapat dicapai oleh karya-karya terbaik warga Negara ini yang telah sadar dan mampu memanfaatkan kebebasan berekspresi tersebut. Satu kalimat yang tepat adalah "kompetisi yang sehat, baik, dan fair akan menghasilkan kondisi-kondisi puncak".

Nah, harapan yang besar akan keberhasilan era kebebasan ini tentu saja tidak boleh melupakan kita untuk mengantisipasi dampak-dampak negatif yang mungkin timbul. Bahwa dalam kondisi kehidupan yang bebas dan penuh persaingan ini akan memunculkan kecenderungan-kecenderungan yang baru diantaranya adalah pola menghalalkan segala cara, sifat individualisme yang berlebihan, kurangnya kontrol sosial, sifat eksklusifisme beragama, permisifisme, pudarnya sifat kekeluargaan dan menurunnya kepekaan sosial.

Tak ayal lagi kondisi-kondisi seperti ini akan berdampak bagi munculnya praktek-praktek yang menyimpang seperti yang sering kita lihat di TV setiap hari. Secara keseluruhan kehidupan seperti ini akan menciptakan golongan-golongan yang kalah dan terpinggirkan. Mereka miskin, stress, terbuang, susah, dan mungkin terlempar dari masyarakatnya. Kita dapat memahami bahwa sebenarnya mereka ini terkondisi oleh keterbatasan sumber daya manusia, keterbatasan akses sosial, maupun ketidakberuntungan.

Untuk itulah kita sebagai umat beragama yang berbangsa tidak sepatutnya membiarkan hal ini berlangsung terus-menerus. Mereka adalah saudara kita. Mereka harus kita dekati, kita bantu, dan kita atasi permasalahannya. Setiap individu harus menghayati pentingnya kesetiakawanan dan kepekaan sosial. Janganlah selama 24 jam sehari kita hanya memikirkan kepentingan pribadi dan menahan keinginan untuk berbagi kepada sesama. Selama hati nurani masih membisiki kita tampaknya itulah jalan yang mesti kita tempuh. Tetapi apabila nafsu yang buruk lebih menguasai kita maka ia akan membawa kepada kekejaman dan kehancuran. Wallahu'alam.

Keberlangsungan Kehidupan Sosial

Kita disebut sebagai makhluk sosial karena hidup dan berkembang bersama-sama dengan orang lain dalam sebuah masyarakat yang diikat oleh norma-norma yang disepakati bersama. Didalam hubungan kemasyarakatan kita mengenal perbedaan individu dalam hal jenis kelamin, usia, agama, pekerjaan, dan lain-lain. Adanya perbedaan ini akan membentuk suatu pola pergaulan yang didasari oleh rasa saling menghargai dan menghormati. Misalnya saja seorang yang lebih muda lazimnya bersikap hormat kepada yang lebih tua. Seorang wanita mempunyai peran-peran tertentu yang lebih terbatas dibandingkan laki-laki dan lain sebagainya.

Dalam perkembangannya nilai-nilai seperti ini sedikit banyak telah mengalami perubahan. Orang-orang yang lebih mengutamakan nilai kecakapan akan menganggap usia bukan faktor utama. Juga dalam hal emansipasi wanita sekarang ini peran mereka telah menyamai kaum laki-laki. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan dalam diri kita; apakah kedepan akan muncul bentuk masyarakat baru yang benar-benar berbeda dari yang ada sekarang?

Sesekali mungkin terlintas dalam benak Anda tentang gagasan menyatukan umat manusia dalam pergaulan global yang tidak dibatasi oleh perbedaan apapun / menganut sistem persamaan. Namun percayalah bahwa Anda tidak akan bisa menciptakan sistem persamaan itu dari nilai-nilai yang benar-benar baru. Bahkan dari dulu peradaban manusia sebenarnya hanya berubah dalam bentuk fisiknya saja sedangkan hakikat dari manusia itu sendiri tidaklah berubah. Maka sesungguhnya sistem nilai tertinggi yang diberikan kepada manusia oleh Allah adalah agama. Disini bisa kita lihat bahwa akibat manusia mempercayai dan menjalankan agama maka dapat tercipta kehidupan yang tertib dan teratur.

Kelak mungkin kita tidak akan pernah menjumpai sistem nilai yang benar-benar baru melampaui agama seperti juga tidak akan ada bentuk masyarakat yang benar-benar baru melampaui bentuk negara yang dipimpin dan diberlakukan undang-undang bagi warganya. Kecuali memang Anda mempercayai teori evolusi masih berlangsung sampai saat ini? Atau Anda menginginkan suatu masyarakat yang tanpa kelas dan tanpa perbedaan? Atau Anda menginginkan kebebasan individu yang seluas-luasnya? Jawaban dari pertanyaan ini memang tergantung dari minat Anda. Tetapi yang pasti, teori apapun yang akan diterapkan untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang ideal maka memerlukan seperangkat nilai dan peraturan yang disepakati dan menjamin keberlangsungan kehidupan sosial yang teratur. Maka kita yakin bahwa nilai-nilai yang lebih menjamin dan mendekati ideal untuk itu adalah ajaran-ajaran moral yang dianjurkan oleh agama.

Mencegah Kerusakan Alam

Dewasa ini kualitas lingkungan kehidupan kita seperti mengalami penurunan akibat dari meningkatnya pencemaran serta makin terdesaknya benda-benda alam digantikan dengan benda-benda hasil ciptaan teknologi. Lahan-lahan perkotaan dan pedesaan makin disesaki perumahan dan sarana-sarana fisik tanpa menyisakan lahan yang memadai bagi penghijauan. Pertumbuhan manusia sebagai aktor utama di planet bumi sepertinya mustahil untuk berhenti pada titik tertentu yang memberi kesempatan kepada alam untuk melakukan recovery dari kerusakannya. Kecuali suatu langkah kebijaksanaan dari manusianya sendiri untuk mau menjaga keseimbangan ekosistem alam. Dan proses yang terjadi selama ini nampaknya jauh dari yang namanya seimbang.

Pertumbuhan manusia telah berhasil mendesak lahan-lahan dan sumber kehidupan serta menghasilkan kerusakan yang tidak sedikit. Sungguh ironis, alam tempat bergantung segala kehidupan justru rusak secara perlahan akibat dominasi manusia. Unsur-unsur penting alam yaitu; tanah, air, udara, dan atmosfer telah mengalami pencemaran. Penopang utama bagi tersedianya air dan udara yang bersih yaitu hutan tak luput dari kerusakan. Sungguh kedepan suatu keadaan yang tidak bisa diprediksi akan terjadi terhadap alam kita. Dan kita yang tiap hari dibebani kebutuhan-kebutuhan lazimnya tak akan mau memikirkan hal ini kecuali terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan itu sendiri yang acapkali bersifat instant belaka.

Yang perlu kita lakukan demi keberlangsungan pertumbuhan generasi-generasi berikutnya adalah sebisa mungkin menjauhi sikap ingin menikmati hidup sepuas-puasnya yang berdampak cepat bagi berkurangnya sumber-sumber kehidupan. Sebaiknya kita mengambil sikap bertahan diri dari pemborosan sumber alam dan berbagi dengan generasi berikutnya bahkan seharusnya berbagi pula dengan spesies lainnya. Kiranya suatu masalah bahwa kebutuhan dalam diri manusia bersifat tidak terbatas sedangkan sumber-sumber alam terpenting kecenderungannya akan makin berkurang. Maka ajaran agama untuk menahan hawa nafsu tampaknya menjadi sangat relevan dalam kehidupan modern sekarang ini. Hanya dengan pengendalian hawa nafsu itulah tampaknya alam akan "save" dan terhindar dari kerusakan yang cepat. Dan inilah tampaknya jalan yang mesti kita tempuh untuk selalu menghindari tindakan-tindakan yang merusak alam sekecil apapun.

Remaja Pasti Penuh Harapan

Anda akan dapat menemukan banyak hal yang menarik pada diri seorang remaja. Bentuk fisiknya yang segar, bakat, idealisme, dan ambisinya yang besar serta proses pencarian diri yang sedang berlangsung dalam dirinya. Tak salah jika dikatakan bahwa mereka adalah harapan bangsa di masa depan. Dalam diri mereka tersimpan pesona yang tiada habisnya sekaligus inspirasi yang kaya bagi siapa saja. Mereka menjadi sasaran pendidikan, pasar mode, hiburan, teknologi, dan lain-lain yang mungkin paling besar dibandingkan kelompok umur yang lainnya. Mereka adalah sumber harapan yang selalu muncul dari masa ke masa.

Namun disisi lain, Anda juga dapat menjumpai problematika yang kompleks dalam dunia remaja. Kebiasaan-kebiasaan mereka yang negatif seolah malah menjadi kendala bagi pertumbuhan masyarakat yang sehat. Disinilah kiranya perhatian yang cukup besar perlu diberikan oleh para orang tua kepada mereka. Pendidikan dan tuntutan berprestasi saja tidaklah cukup. Hal ini perlu dibarengi dengan usaha menciptakan sistem yang baik di masyarakat bagi tumbuhnya prestasi dikalangan remaja. Seperti misalnya dengan mendorong mereka berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang positif yang nantinya akan membentuk karakter yang baik dalam diri mereka sehingga menjadi bekal untuk menjadi aktor yang akan menentukan arah perjalanan masyarakat kelak.

Perlu diingat bahwa wajah masyarakat dimasa depan amat tergantung dari kondisi remaja saat ini. Mungkin gambaran bahwa remaja adalah sumber harapan akan serta merta sirna tatkala kita melihat korban AIDS, pecandu narkoba, pelaku kriminal, dan lain-lain. Namun disisi lain masih banyak juga remaja yang berprestasi di bidang sains maupun organisasi-organisasi. Tinggal bagaimana para orang tua dan masyarakat mendorong mereka untuk berprestasi sesuai kemampuannya. Juga tak lupa peran pemimpin untuk selalu menghadirkan tauladan yang baik dihadapan mereka.

Kita bisa melupakan sejenak wajah-wajah mereka yang penuh harapan dan menyenangkan. Mulai saat ini kita yang telah dewasa harus senantiasa memotivasi mereka dalam setiap kesempatan. Etika yang menganjurkan "yang muda harus menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda" harus benar-benar diterapkan. Dan apabila Anda tulus ingin mendo'akan setiap remaja di lingkungan Anda, lakukan saja dan tetap lakukan demi pertumbuhan generasi dimasa yang akan datang.

Rangsangan Yang Melenakan

Mungkin Anda termasuk orang yang sering mendengar atau membaca pendapat yang menyatakan bahwa tayangan TV sekarang ini cenderung berdampak buruk terhadap masyarakat luas. Acara-acara sinetron, infotainment, film misteri, bahkan kartun disinyalir lebih menonjolkan kemewahan, kemolekan wanita, dan hal-hal yang meracuni akal seperti syirik, kekerasan, dan lain sebagainya. Penulis memandang bahwa apapun materi siaran yang ditayangkan oleh TV adalah sumber rangsangan yang dapat mempengaruhi akal dan kepribadian seseorang. Terutama sekali bagi mereka golongan usia anak-anak dan remaja yang nota bene masih rentan terhadap rangsangan dari luar. Disini kita dapat mengetengahkan hubungan yang linear antara materi pornografi dengan kasus perkosaan, materi kekerasan dengan kejahatan, bahkan tayangan kemewahan dapat merangsang seseorang untuk melakukan korupsi. Bisakah hal ini terjadi? Tentu menjadi hal yang menarik untuk dicari jawabannya.

Bahwa persoalan tingkah laku manusia adalah menyangkut boleh dan tidak boleh. Disinilah semuanya berawal. Sesuatu yang dibolehkan tentu saja menjadi ringan untuk dikerjakan namun hasilnya tidak selalu menyenangkan. Namun sebaliknya sesuatu yang dilarang untuk dilakukan bisa jadi malah menyenangkan bila dilakukan. Nah, dalam konteks ini tayangan TV yang menyerempet norma atau agama dapat saja diterima dan disiarkan dengan alasan menghibur, meningkatkan rating, atau sesuai selera masyarakat. Atas nama hiburan yang lagi booming saat ini bisa saja para pelaku menayangkan hal-hal yang sensasional, heboh, seksi, dan bermewah-mewahan. Atau bahkan hal-hal yang tidak wajar dan tidak sopan sekalipun menjadi sah-sah saja dengan alasan hal tersebut menghibur.

Ironisnya masyarakat yang telah terbiasa melihat hal ini setiap hari akan cenderung menganggap hal-hal yang menyerempet larangan tadi menjadi lumrah dan akhirnya akan membenarkan begitu saja. Parahnya masyarakat cenderung menjadikannya sebagai ukuran untuk diwujudkan dalam kehidupan sehari-harinya. Jadilah rangsangan-rangsangan tersebut menguat sehingga lambat laun menjebol aturan norma dan kebiasaan seseorang yang dapat memicu munculnya fenomena baru. Sebagai contoh, rangsangan kemewahan materi dapat mendorong seseorang melakukan korupsi dan tindakan menyimpang lainnya.

Lalu ada alasan menarik yang sering dilontarkan oleh insan per-TV-an bahwa apa yang mereka tayangkan adalah semata-mata memotret realitas yang terjadi di masyarakat. Sebenarnya tayangan TV yang mempengaruhi masyarakat ataukah tingkah laku masyarakat yang mempengaruhi tayangan TV? Penulis disini berpendapat bahwa kedua-duanya betul, hanya saja tayangan TV lebih berperan karena biasanya tayangan-tayangan itu telah dibumbui dengan kemasan yang apik yang lebih dapat memukau ataupun melenakan masyarakat.

Disinilah perlu disadari bahwa sebuah perubahan yang positif di masyarakat hendaknya didorong oleh tuntunan pemikiran yang dihasilkan oleh kalangan cendekia dan pemikir yang handal dan bukan oleh tontonan yang dihasilkan oleh orang-orang yang oportunis dan memetingkan kepentingan sesaat. Hasil-hasil budaya manusia yang unggul, seperti; teknologi, seni, filsafat, ilmu pengetahuan dan lain-lain hendaknya dimanfaatkan untuk kemaslahatan dan kebaikan bersama. Dan perlu diingat bahwa sebuah keterlanjuran akan sangat susah sekali untuk ditarik kembali. Menyebarnya virus korupsi, pornografi, dan paham-paham yang menyesatkan lainnya akan menjadi sebuah bekas luka yang akan sulit dihapuskan oleh sejarah kecuali sejarah itu sendiri memulai dirinya dari awal yang menandai hancurnya peradaban sebelumnya. Mudah-mudahan kita terhindar dari kerusakan dan semoga akan makin banyak orang yang berkarakter membangun dan memperbaiki daripada orang-orang yang suka merusak dan mementingkan diri sendiri. Amin !